Monday, October 29, 2012

Sejarah dan Perkembangan STIEM Bongaya


Selain sebagai dosen dan pimpinan di Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof Dr HM Idris Arief MS juga adalah pendiri dan pengelola Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Makassar (STIEM) Bongaya. Perguruan tinggi yang awalnya bernama Akademi Bank dan Keuangan (ABK) dan sudah “mati suri” ketika itu (1975), kini sudah menjelma menjadi salah satu perguruan tinggi yang paling sehat dan paling mapan di Kota Makassar. STIEM Bongaya yang hanya membuka dua program studi (prodi Manajemen, dan prodi Akuntansi), kini membina lebih dari 4.000 mahasiswa. (Foto: Asnawin)



Sejarah dan Perkembangan STIEM Bongaya

Selain sebagai dosen dan pimpinan di Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof Dr HM Idris Arief MS juga adalah pendiri dan pengelola Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Makassar (STIEM) Bongaya.

Perguruan tinggi yang awalnya bernama Akademi Bank dan Keuangan (ABK) dan sudah “mati suri” ketika itu (1975), kini sudah menjelma menjadi salah satu perguruan tinggi yang paling sehat dan paling mapan di Kota Makassar.

STIEM Bongaya yang hanya membuka dua program studi (prodi Manajemen, dan prodi Akuntansi), kini membina lebih dari 4.000 mahasiswa. Pada tahun akademik 2012/2013 ini, jumlah calon mahasiswa baru yang meng-ikuti tes sebanyak 1.329 orang.

Untuk ukuran sekolah tinggi, apalagi yang hanya membuka dua program studi, STIEM Bongaya boleh dikatakan terbaik di Kota Makassar, bahkan mungkin terbaik di kawasan timur Indonesia.

“Apa yang dicapai STIEM Bongaya saat ini, tidak terlepas dari pengorbanan dan perjuangan panjang yang kami lakukan sejak 1975,” ungkap Prof Idris, pendiri STIEM Bongaya dan Ketua Yayasan Pendidikan Bongaya Ujung Pandang (YPBUP), kepada Tabloid Almamater, di ruang kerjanya, Selasa, 14 Agustus 2012.

Cikal bakal STIEM Bongaya berasal dari Akademi Bank dan Keuangan (ABK) yang didirikan tahun 1967 oleh Yayasan Bhinneka Tunggal Ika (berkantor pusat di Jakarta). Namun sejak 1975, ABK mengalami masa suram, karena pengurus yayasan meninggalkannya begitu saja.

“Tidak ada pengurus yayasan dan juga tidak ada dana, bahkan yayasan berutang kepada pemilik rumah yang disewa sebagai tempat kuliah. Aset-aset yang ada pun dibawa pergi, seperti mesin ketik, dan lain-lain,” kata Idris.

Koodinator Koperti Wilayah VII (Sulawesi, Maluku, Irian Jaya) ketika itu, Prof Dr Andi Zainal Abidin Farid SH, kemudian mewa-canakan menutup ABK, karena tidak ada lagi mahasiswanya dan juga tidak ada pengurus yayasan atau pengelolanya yang berkoor-dinasi dengan Koperti (sekarang Kopertis Wilayah IX Sulawesi).

“Kampusnya ketika itu hanya sebuah rumah kecil yang mirip kandang ayam, bahkan pada malam hari saat mahasiswa sedang kuliah, banyak ayam yang ber-tengger untuk tidur,” papar Idris.

Atas desakan sejumlah dosen yang sebagian besar dosen IKIP Ujungpandang (sekarang Universitas Negeri Makassar/UNM), Idris Arief kemudian berdialog dengan Prof Zainal Abidin.

“Beliau bilang, kalau pak Idris sanggup menangani dan menghidupkan kembali ABK, silakan. Saya katakan, insya Allah. Maka ABK kemudian tidak jadi ditutup oleh Kopertis. Kemudian teman-teman sepakat menunjuk saya sebagai Direktur ABK. Di situlah perjuangan yang sesungguhnya dimulai, karena kami harus menghidupkan perguruan tinggi yang sudah mati suri,” katanya.

Dalam perjuangan itu, Idris Arief mendapat sokongan penuh dari sang isteri, Prof Dr Hj Rabihatun Idris MS (juga dosen dan Guru Besar UNM). 

Undang Kepsek se-Kota Makassar

Idris Arief kemudian mengada-kan acara Lustrum (ulang tahun ke-10) ABK dengan menyewa Gedung IMMIM dan mengun-dang Kepala Sekolah SLTA se-Kota Makassar. Kebetulan banyak di antara mereka yang pernah menjadi mahasiswanya di IKIP Ujung pandang.

“Pihak Kopertis juga kami undang. Dalam kesempatan itu, saya mengimbau para kepala sekolah agar mendaftarkan alumninya ke ABK. Saya juga memasang pengumuman penerimaan maha-siswa baru di koran. Sejak saat itulah, mulai ada calon mahasiswa baru yang mendaftar,” urai Idris.

Kampus lama berupa rumah tua yang sekaligus berfungsi sebagai kandang ayam, kemudian dibeli dan menjadi aset pertama milik ABK. Tenaga pengajar ABK, selain diambil dari IKIP Ujung-pandang (Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial), juga banyak dari unsur pimpinan bank (BI, BNI 46, BRI, dll).

“Kadang-kadang kalau kami kesulitan uang, mereka (dosen) bilang, tidak usah dibayar pak, karena para pimpinan bank itu memang diimbau mengabdi di tengah masyarakat. Untuk menutupi biaya-biaya yang dibutuhkan, tidak jarang tabungan isteri saya pun saya ambil,” kata Idris, seraya menambahkan bahwa gaji dosen ketika itu rata-rata Rp 2.500.

Beberapa tahun kemudian, ABK mulai stabil. Setiap ada kele-bihan dana, ABK membebaskan tanah di sekitar kampus. Pembe-basan tanah kemudian diimbangi dengan pembangunan gedung perkuliahan dan perkantoran.

“Setelah kondisinya mulai sta-bil, saya kemudian menunjuk pengganti sebagai Direktur ABK. Atas persetujuan dan dukungan teman-teman, saya membuat yaya-san baru (Yayasan Pendidikan Bongaya Ujung Pandang/YPBUP) dan mendaftarkanya di Kopertis. Tidak ada masalah dengan pergantian nama yayasan itu, karena yayasan lama sudah tidak ada dan kantor pusat yaya-san memang harus berdomisili di tempat PTS berada,” papar Idris.

Lalu bagaimana caranya mem-bagi waktu antara mengajar (do-sen) di IKIP Ujungpandang de-ngan mengelola PTS?

“Saya ke IKIP mulai pagi hingga jam dua siang. Jam tiga sore, saya sudah ada di kampus ABK sampai jam sembilan malam. Kebetulan kuliah di ABK itu mulai sore sampai malam. Para pimpinan bank yang mengajar di ABK juga tidak terganggu, karena mereka juga pulang kerja rata-rata jam dua siang,” kata Idris.

Tahun 1985, atas desakan para alumni, pihak yayasan kemudian mengusulkan perubahan nama dan peningkatan status dari ABK menjadi STIEM Bongaya.

“Ketika datang ke kampusnya kembali, mereka (para alumni ABK) heran, karena kampus ABK yang dulunya seperti kandang ayam, sudah memiliki gedung ber-tingkat,” kata Idris.

STIEM Bongaya kemudian berkembang pesat dan menjadi perguruan tinggi swasata (PTS) pertama di Sulawesi Selatan yang mendapat nilai Akreditasi A.

Kini, STIEM Bongaya (dengan kurang lebih 4.000 mahasiswa) telah memiliki total luas areal tanah sekitar 2 hektar, serta memiliki gedung perkuliahan dan perkantoran, yang terdiri atas 40 ruangan perkuliahan, plus gedung perkantoran, kampus Program Pascasarjana, serta berbagai sarana dan prasarana, seperti laboratorium, sarana olahraga, sarana ibadah, dan ruang terbuka hijau. (asnawin / Tabloid Almamater)

@copyright Tabloid Almamater, Makassar, Edisi 3, Oktober 2012.

No comments: