Monday, October 29, 2012

Prof Dr HM Idris Arief MS : Mengatasi Krisis Moneter di UNM


PROF Idris Arief berjabat-tangan dengan Presiden SBY di Istana Negara. Ketika terpilih menjadi Rektor Universitas Negeri Makassar (UNM), ketika itu masih bernama IKIP Ujungpandang pada periode pertama tahun 1999, Prof Dr HM Idris Arief MS, langsung diperhadapkan kepada berbagai persoalan dan tantangan.
Persoalan dan tantangan itu antara lain memuncaknya krisis moneter (krismon) yang diiringi naiknya harga barang. Sementara di sisi lain, alokasi anggaran dari APBN untuk IKIP Ujungpandang, menurun dari sekitar Rp 10 miliar menjadi hanya sekitar Rp 1,5 miliar.



Prof Dr HM Idris Arief MS:
Mengatasi Krisis Moneter di UNM


Ketika terpilih menjadi Rektor Universitas Negeri Makassar (UNM), ketika itu masih bernama IKIP Ujungpandang) pada periode pertama tahun 1999, Prof Dr HM Idris Arief MS, langsung diperhadapkan kepada berbagai persoalan dan tantangan.

Persoalan dan tantangan itu antara lain memuncaknya krisis moneter (krismon) yang diiringi naiknya harga barang. Sementara di sisi lain, alokasi anggaran dari APBN untuk IKIP Ujungpandang, menurun dari sekitar Rp 10 miliar menjadi hanya sekitar Rp 1,5 miliar.

Selain itu, IKIP Ujungpandang ketika itu juga tengah mempersiapkan diri dan berjuang untuk berubah nama dan status menjadi universitas (Universitas Negeri Makassar).

“Bayangkan, saat terjadi krismon, saat harga barang-barang mahal, anggaran untuk perguruan tinggi dipangkas dan tidak boleh ada pembangunan fisik, padahal kebutuhan kampus meningkat,” ungkap Idris, kepada penulis, di Makassar, beberapa waktu lalu.

Kondisi itu membuat UNM ‘menderita’ selama beberapa tahun sejak terjadinya krismon, dan terpaksa melakukan ‘tambal sulam’ dalam memanfaatkan dana yang ada, apalagi SPP mahasiswa juga tergolong paling rendah di antara semua PTN ketika itu.

Tentu tidak mudah mengatasi persoalan dan tantangan itu, tetapi dengan berbagai pengalamannya sebagai pejabat di lingkungan UNM dan pergaulannya yang cukup luas, Prof Idris mampu menghadapi dan mengatasinya.

“Kadang-kadang saya menangis. Saya memutar otak bagaimana bisa mengendalikan UNM yang begini besar dengan dana yang terbatas,” paparnya, seraya menambahkan bahwa berkat pendekatan yang dilakukannya ke pemerintah pusat, dengan alasan kebutuhan mendesak, UNM akhirnya mendapatkan izin dan dana untuk pembangunan gedung baru.

Selain mengatasi krismon, Idris Arief bersama para pembantunya juga berhasil meyakinkan pemerintah pusat (Dikti Depdikbud RI) yang akhirnya menyetujui perubahan nama dan status dari IKIP Ujungpandang menjadi UNM.

Ketika Idris Arief terpilih menjadi rektor pada periode pertama 1999, jumlah mahasiswa UNM hanya 8.719 orang, tetapi di akhir masa jabatannya pada periode kedua (tahun 2007), jumlah mahasiswa UNM sudah lebih dari 17.000 orang.

Di sisi lain, jumlah dosen UNM yang berkualifikasi magister (S2) dan doktor (S3) pada 1999, hanya 29% dari total 815 dosen, terdiri atas 265 dosen S2 (32,52%) dan 52 dosen S3 (6,38%).

Delapan tahun kemudian, tepatnya hingga September 2007, dosen UNM yang berkualifikasi S2 tercatat 597 orang (68,62%) dan S3 sebanyak 87 orang (10%) dari total 870 dosen.

Dengan demikian, di akhir masa jabatan Idris Arief sebagai Rektor UNM, jumlah dosen yang berkualifikasi magister dan doktor berkisar 79 persen.

“Itu jauh melampaui target nasional yang hanya mengisyaratkan 55 persen,” sebut Idris, seraya menambahkan bahwa ketika itu, puluhan dosen UNM juga tengah melanjutkan pendidikan S2 atau S3 pada berbagai perguruan tinggi dalam negeri dan luar negeri. (asnawin/Tabloid Almamater)

@copyright Tabloid Almamater, Makassar, Edisi 3, Oktober 2012.

No comments: