Wednesday, November 28, 2012

Mahasiswa Salah Memaknai Istilah Agent of Change


DEKLARASI. Pembantu Rektor III se-Kota Makassar menandatangani dan membacakan Deklarasi, di Baruga Sangiaseri Rumah Jabatan Gubernur Sulsel, Jumat, 12 Oktober 2012. Deklarasi itu berbunyi, pimpinan perguruan tinggi se-Kota Makassar mengutuk segala bentu kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun, khususnya oleh mahasiswa yang diharapkan sebagai pemimpin Indonesia di masa depan. Selain itu, mereka juga mendukung sepenuhnya upaya penegak hukum dalam menindak para pelaku tindak kekerasan. (Foto: Asnawin) 



Mahasiswa Salah Memaknai Istilah Agent of Change

Makassar, Tabloid Almamater. Mahasiswa adalah sekelompok orang yang berada pada fase pencarian identitas diri. Pada fase tersebut, mahasiswa membutuhkan kegiatan-kegiatan positif dengan frekuensi yang cukup tinggi, terutama di internal kampus, sehingga tidak ada waktu bagi mereka untuk terlibat dalam kegiatan yang tidak berguna.

Mahasiswa Fakultas Kedokteran misalnya, hampir tidak pernah kita mendengarkan mereka melakukan aksi unjukrasa, apalagi yang anarkis. Kita juga jarang sekali mendengar kabar mahasiswa Fakultas Kedokteran terlibat tawuran.
 

Itu karena mereka sudah terlalu sibuk dengan kegiatan perkuliahan, tugas-tugas, dan praktek. Orientasi mereka juga jelas, sehingga mereka tidak lagi punya waktu luang untuk terlibat dalam berbagai kegiatan lain yang non-akademik.
 

Sebaliknya, mahasiswa yang senang melakukan aksi unjukrasa, terlibat tawuran, dan melakukan tindakan anarkis, umumnya karena mereka kehilangan orientasi, tidak banyak kegiatan, serta salah memaknai istilah agent of change.
 

Demikian benang merah pendapat pakar sosiologi dari Universitas Satria (Unsat) Makassar Prof Dr HM Tahir Malik MSi, dan pakar psikologi dari Universitas Negeri Makassar (UNM) Prof Dr Muhammad Jufri SPsi MSi, yang dihubungi secara terpisah, Kamis, 18 Oktober 2012.
 

“Mahasiswa itu berada dalam fase mencari bentuk. Mereka sangat dipengaruhi oleh lingkungan di mana mereka berada,” kata Prof Tahir Malik yang kini menjabat Rektor Unsat Makassar.
 

Dalam kondisi seperti itu, para pimpinan dan pengelola kampus harus berupaya memberikan banyak kegiatan kepada mahasis-wa, mulai dari kegiatan perku-liahan dan tugas-tugas yang padat, serta kegiatan-kegiatan ekstra-kurikuler.
 

Kegiatan dimaksud antara lain seminar, diskusi, pelatihan, pawai, pagelaran, pertunjukan serta berbagai macam lomba atau kompetisi.
 

“Pihak kampus seharusnya membuat banyak kegiatan yang bernuansa akademik, termasuk kegiatan ekstra-kurikuler. Bahwa di sana ada biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak kampus, apa boleh buat, itulah konsekuensi yang harus ditanggung oleh pengelola kampus,” ujar Prof Tahir.
 

Selain itu, tambahnya, para pimpinan dan dosen juga harus sering-sering meluangkan waktu menemani mahasiswa, agar terjalin komunikasi yang baik dan hubungan yang mesra antara mahasiswa dengan para pimpinan kampus.
 

“Pimpinan tidak boleh hanya duduk di belakang meja, tetapi harus sering-sering turun mene-mui atau menemani mahasiswa, sehingga mereka merasa diperha-tikan. Dengan begitu, kita menutup peluang bagi pihak-pihak eksternal untuk memenga-ruhi mahasiswa,” tutur dosen Kopertis Wilayah IX Sulawesi yang dipekerjakan di Universitas Satria Makassar.
 

Kalau mahasiswa tidak diberi banyak kegiatan yang bernuansa akademik, apalagi jika pimpinan kampus jarang menemani mereka, maka pasti akan banyak waktu luang bagi mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak berman-faat, termasuk dengan melakukan hal-hal yang bersifat sensasi.
 

“Main facebook di internet, melakukan aksi unjukrasa, dan berbagai kegiatan lain yang non-akademik, sesungguhnya itu hanyalah pelarian bagi mahasiswa, terutama untuk mencari sensasi, agar diperhatikan dan agar mereka merasa menjadi seseorang yang mampu melaku-kan sesuatu,” papar Prof Tahir.

Mahasiswa Kehilangan Orientasi

Pakar psikologi dari Universitas Negeri Makassar (UNM) Prof Dr Muhammad Jufri SPsi MSi mengatakan, mahasiswa Indonesia dewasa ini banyak yang kehi-langan orientasi. Mereka tidak punya arah yang jelas.
 

Mahasiswa juga umumnya salah dalam memaknai istilah agent of change. Mereka ingin tampil sebagai agen perubahan, tetapi sesungguhnya mereka tidak memahami makna agen perubahan itu.
 

“Mereka memaknai agen perubahan dengan cara turun ke jalan, melakukan aksi unjukrasa, dan menutup jalan. Mereka cukup bangga merusak. Mereka berorasi di tengah jalan, siapa yang mau dengar? Masyarakat yang dirugikan karena jalanan macet, akhirnya bukan bersimpati kepada mereka, melainkan malah antipati,” urainya.
 

Tukang becak pun, tambah Prof Jufri, kadang-kadang mengingatkan rekan-rekannya sesama tukang becak agar menjauhi mahasiswa.
 

“Mereka ternyata takut terpengaruh oleh aksi-aksi mahasiswa,” katanya.
 

Dalam ilmu psikologi, kata pria kelahiran Selayar, 2 Februari 1968, dikenal istilah pembelajaran observasional, yaitu seseorang akan belajar mengikuti apa yang telah dilakukan para senior atau orang-orang sekitarnya.
 

Jika para senior atau orang-orang sekitarnya melakukan hal-hal positif dan bermanfaat, maka dia juga akan melakukan hal yang sama. Sebaliknya, jika para seniornya melakukan hal-hal negatif, maka dia akan besar kemungkinan melakukan hal-hal negatif.
 

“Yang lebih berbahaya lagi kalau para seniornya mendoktrin mereka agar berpikir militan dan negatif, misalnya seorang mahasiswa senior bertanya kepada mahasiswa baru, siapa musuhmu. Artinya, mahasiswa baru ini sudah diajar cara mencari dan menghadapi musuh, padahal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan perkuliahan,” ungkap Prof Jufri.

Soft Skill
 

Alumni S3 Psikologi UGM Yogyakarta ini juga menyarankan para pimpinan kampus agar berupaya memberikan banyak kegiatan kepada para mahasiswa dan lebih sering meluangkan waktu menemui dan menemani mahasiswa dalam berbagai kesempatan.
 

Namun, Prof Jufri yang kini menjabat Sekretaris Lembaga Penelitian UNM, menekankan perlunya perubahan kurikulum pada semua program studi, dengan memberikan penguatan atau muatan-muatan pengembangan soft skill (keterampilan-keterampilan non-teknis yang berhubungan dengan karakter dan kepribadian, red).
 

“Banyak mahasiswa yang tingginya IPK-nya, tetapi soft skill-nya rendah. Aki-batnya, mereka sering kesulitan mengha-dapi situasi-situasi tertentu dan akhirnya gagal dalam banyak hal,” tuturnya.
 

Pendiri kantor konsultan psikologi “Prospek” ini juga menyebutkan pentingnya penataan lingkungan kampus, karena kampus yang asri, sejuk, dan nyaman, pasti akan berpengaruh secara psikologis terhadap pikiran dan perasaan mahasiswa saat berada di kampus.
 

“Kalau ada taman dan ruang terbuka hijau, ada tempat duduk yang terlindung dari panas matahari, hawanya sejuk, nyaman, dan aman, mahasiswa bebas berdiskusi di bawah pohon rindang, tentu mereka kepikiran lagi terlibat kegiatan kegiatan aksi unjukrasa, dan lain-lain yang tidak berguna,” kata Prof Jufri. (tim)


@copyright Tabloid Almamater, Makassar, Edisi 3, Oktober 2012.

No comments: