Tuesday, April 09, 2013

LAM–PT dan Koordinator Kopertis


"Keinginan APTISI agar Mendikbud mengangkat Koordinator Kopertis dari kalangan dosen PNS yang dipekerjakan pada PTS (dosen DPK), adalah sesuatu yang wajar-wajar saja. Hanya saja jabatan Koordinator Kopertis harus diisi oleh dosen senior yang benar-benar sudah berpengalaman dan memiliki latar-belakang yang kuat, bukan cuma secara akademik, melainkan juga dari segi jaringan dan komunikasi.” -- Prof Basri Wello --

 

LAM–PT dan Koordinator Kopertis

Menyinggung panjangnya daftar antrian prodi yang belum divitasi untuk akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN–PT) dan deklarasi pembentukan Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi (LAM–PT) oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Basri Wello mengatakan, LAM–PT memang dibutuhkan.

Namun dirinya mengingatkan bahwa untuk akreditasi setiap prodi dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga LAM–PT harus punya dana yang cukup.

Pertanyaannya, biayanya dari mana, apakah dibayar oleh masing-masing prodi atau LAM–PT dibiayai oleh negara?

“Saya tidak berpikir negatif, tetapi asesor yang dipilih harus betul-betul orang yang punya komitmen. Bagaimana kalau biaya visitasi ditanggung oleh masing-masing perguruan tinggi? Yang pasti, tentu honor untuk tim asesor tidak mungkin rendah. Selama ini sangat ketat. Kalau ada asesor yang ketahuan mendapat biaya dari perguruan tinggi, itu langsung diberhentikan oleh BAN–PT,” paparnya.

Dari Dosen PTS

Tentang kuatnya desakan dari APTISI kepada Mendikbud untuk mengangkat Koordinator Kopertis dari kalangan dosen PNS yang dipekerjakan pada PTS, Basri Wello mengatakan, keinginan tersebut wajar-wajar saja.

“Hanya saja jabatan Koordinator Kopertis harus diisi oleh dosen senior yang benar-benar sudah berpengalaman dan memiliki latar-belakang yang kuat, bukan cuma secara akademik, melainkan juga dari segi jaringan dan komunikasi,” katanya.

Dia mengungkapkan, ketika pada 2008 diminta menjadi calon Koordinator Kopertis Wilayah IX Sulawesi dari Universitas Negeri Makassar (UNM), dia langsung menolak dan mempersilakan Rektor UNM memilih dosen lain yang lebih senior dan lebih berpengalaman.

“Tapi Pak Rektor (Prof Arismunandar) bilang, saya sudah periksa latar-belakang beberapa dosen senior dan ternyata Anda yang paling pantas diusulkan. Akhirnya saya katakan, kalau itu untuk UNM, saya siap saja. Ternyata Dikti menilai secara objektif dan akhirnya memilih saya sebagai Koordinator Kopertis,” tuturnya.

“Setelah tidak lagi menjabat Koordinator Kopertis Wilayah IX Sulawesi dan juga tidak ada lagi jabatan yang diduduki, apakah Bapak tidak mengalami post power syndrome?” tanya penulis.

“Justru saya sekarang merasa senang karena bisa full time meng-ajar setelah sekitar 20 tahun menjadi pejabat. Saya betul-betul merasa malu, karena jarang mengajar, tetapi saya masih tetap promotor, co-promotor, dan mengajar pada program pascasarjana selama menjadi pejabat,” ungkapnya.

Selama menjadi pejabat struktural, dia juga selalu memberi ruang akademik kepada dirinya, antara lain membaca buku-buku terbaru, yang sebagian dipesan langsung secara online dari mancanegara.

“Saya baca buku terus,” ungkap Basri Wello. (asnawin)

@copyright Tabloid Almamater, Makassar, Edisi ke-4, Maret 2013.

No comments: