Thursday, April 04, 2013

6.000 Program Studi Belum Terakreditasi


Sesuai data Kemendikbud per 1 Agustus 2012, jumlah perguruan tinggi yang berada di bawah Kemdikbud adalah 3.216 buah, terdiri atas 92 PTN dan 3.124 PTS. Jumlah program studi hampir mencapai angka 17.000 dan masih ada sekitar 6.000 program studi yang belum selesai diakreditasi. Beban tersebut semakin bertambah karena program studi yang sudah kedaluwarsa akreditasinya juga telah mencapai angka 3.000.

 


6.000 Prodi Belum Terakreditasi

•    3.000 Prodi Kadaluarsa
•    LAM–PT Solusi Praktis
•    Prodi Terdaftar Otomatis Terakreditasi

Makassar, Tabloid Almamater.

Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN–PT) sudah terlalu kewalahan untuk melaksanakan tugasnya melakukan akreditasi institusi dan program studi pada perguruan tinggi se-Indonesia.

Di usianya yang sudah menginjak 19 tahun, BAN–PT sebagai satu-satunya lembaga akreditasi perguruan tinggi yang diakui pemerintah, tetap tidak mampu menuntaskan akreditasi ribuan institusi dan belasan ribu program studi.

Sesuai data Kemendikbud per 1 Agustus 2012, jumlah perguruan tinggi yang berada di bawah Kemdikbud adalah 3.216 buah, terdiri atas 92 PTN dan 3.124 PTS.

Jumlah program studi hampir mencapai angka 17.000 dan masih ada sekitar 6.000 program studi yang belum selesai diakreditasi. Beban tersebut semakin bertambah karena program studi yang sudah kedaluwarsa akreditasinya juga telah mencapai angka 3.000.

"Program studi di PTS yang banyak tidak terakreditasi. Untuk menunggu visitasi saja bisa 6 -12 bulan. Sementara itu, jatah akreditasi program stdu dari peemrintah juag terbatas, berkisar 1.330 program studi per tahun. Untuk tahun ini dinaikkan jadi 3.500 program studi," kata Ketua Bidang Organisasi APTISI Pusat, Budi Djatmiko, Jakarta, Kamis, 6 Desember 2012.

Kondisi tersebut, timpal Ketua Umum APTISI Edy Suandi Hamid, tentu menjadi problem yang justru akan merugikan perguruan tinggi bersangkutan, terlebih amanah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa ijazah yang diakui ialah ijazah yang dikeluarkan oleh program studi yang terakreditasi.

“Keterbatasan asesor menjadi salah satu kendala yang akhirnya membuat ribuan program studi tidak selesai diakreditasi,” ungkap Edy.

Dengan melihat kondisi tersebut, kata Edy pada Rapat Pleno Pengurus Pusat APTISI, di Hotel Sahid Makassar, pertengahan Februari 2013, maka sangat logis kalau kemudian APTISI memiliki niat untuk memberikan solusi praktis, dengan menginisiasi lahirnya Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi (LAM–PT).

Terwujudnya LAM–PT tidak hanya didasarkan pada kondisi belum optimalnya peran BAN–PT, melainkan juga legitimasi dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Pada pasal 55 UU PT, ayat (4) disebutkan bahwa Akreditasi Perguruan Tinggi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, sedangkan ayat (5) mengatakan; Akreditasi Program Studi sebagai bentuk akuntabilitas publik dilakukan oleh lembaga akreditasi mandiri.

Lembaga Akreditasi Mandiri dimaksud merupakan lembaga mandiri bentukan pemerintah atau lembaga mandiri bentukan masyarakat yang diakui oleh pemerintah atas rekomendasi BAN–PT (ayat 6).
Lembaga Akreditasi Mandiri dibentuk berdasarkan rumpun ilmu dan/atau cabang ilmu, serta dapat berdasarkan kewilayahan (ayat 7).

Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan
Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri (ayat 8).

Jalan menuju pembentukan LAM–PT telah dirintis oleh APTISI. Mereka mendeklarasikan pembentukan LAM–PT pada Rapat Pleno Pengurus Pusat APTISI, di Hotel Sahid Makassar, 15 Februari 2013.

Edy Suandi menegaskan, APTISI Pusat siap menindak-lanjuti pendirian LAM–PT sesuai ketentuan yang berlaku dengan jangka waktu selambat-lambat enam bulan, terhitung sejak deklarasi ditanda-tangani di Makassar, pada 15 Februari 2013.

Ketua Bidang Organisasi APTISI Pusat, Budi Djatmiko, menimpali, akreditasi program studi di perguruan tinggi swasta (PTS) yang dilakukan BAN–PT selama ini, tidak memadai serta tidak memahami karakteristik kampus swasta.

"Kehadiran LAM APTISI ini akan memperbaiki hal-hal yang kurang dari akreditasi yang dilakukan BAN-PT. Akreditasi yang kesannya untuk pembinasaan, harus diubah citranya jadi pembinaan," tandas Budi.

Otomatis Terakreditasi

Terkait kekhawatiran Ketua Umum APTISI Pusat mengenai tidak diakuinya ijazah yang dikeluarkan oleh program studi yang belum terakreditasi (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), Dirjen Dikti Djoko Santoso mengatakan, persoalan akreditasi ini telah diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, tentang Pendidikan Tinggi.

Dia mengatakan, program studi atau institusi perguruan tinggi yang sudah memiliki izin penyelenggaraan, otomatis sudah memiliki akreditasi minimal.

“Dengan demikian, perguruan tinggi itu sudah bisa mengeluarkan ijazah,” kata Djoko, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Pernyataan Dirjen Dikti itu secara otomatis menyelamatkan ribuan program studi yang belum tuntas diakreditasi dan dengan demikian, pengeluaran ijazah dari program studi tersebut bukan ilegal.

Meskipun demikian, kata Djoko, perguruan tinggi dan program studi tetap harus mengurus akreditasi ke BAN-PT atau lembaga akreditasi mandiri.

Tentang LAM–PT, Dirjen Dikti mengatakan, pemerintah membuka peluang dibukanya lembaga akreditasi mandiri.

Djoko mengatakan, BAN-PT nantinya fokus untuk mengakreditasi institusi perguruan tinggi, sedangkan lembaga akreditasi mandiri yang dibentuk pemerintah maupun masyarakat , diarahkan untuk mengakreditasi program studi. (tim)



@copyright Tabloid Almamater, Makassar, Edisi ke-4, Maret 2013.

No comments: