Sunday, February 05, 2012

Menyoal Out-put Perguruan Tinggi



Berdasarkan hasil survey dan hasil penelitian, penyebab terjadinya sarjana penganggur, antara lain karena mereka kurang memiliki kompetensi dengan dunia kerja. Selain itu, terjadi mistmach antara lepasan perguruan tinggi dengan dunia kerja. Banyak pengusaha mengeluh karena sulitnya mendapatkan tenaga kerja sesuai kebutuhan perusahaan (kelimpahan tenaga kerja berdampingan dengan kelangkaan tenaga kerja).



Menyoal  Out-put  Perguruan  Tinggi

Oleh: Prof Dr HM Idris Arief MS
(Pakar Ekonomi Universitas Negeri Makassar)

Produksi sarjana setiap tahun berkisar 900.000 orang. Mereka adalah produk dari sekitar 2.600 perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Penganggur terdidik ini dipandang sebagai pemborosan nasional, karena untuk menjadi sarjana cukup mahal, tetapi mereka akhirnya menjadi penganggur.
Sarjana yang banyak menganggur adalah sarjana sosial non-kependidikan, sarjana agama, dan sebagian sarjana program studi MIPA. Yang banyak terserap adalah alumni program studi teknik dan prodi eksakta.
Apa yang terjadi sesungguhnya? Mengapa banyak sarjana yang menjadi pengangguran? Apakah mereka tidak kompeten di bidang ilmunya? Apakah jumlah lowongan kerja yang tersedia terlalu sedikit dibandingkan jumlah sarjana yang ada? Apakah para sarjana tersebut tidak mampu berkreasi dan menciptakan lapangan kerja sendiri?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya kita lihat dulu data dan fakta tentang sarjana penganggur dari tahun ke tahun.
Tahun 2005, jumlah sarjana yang menganggur tercatat seba-nyak 183.629 orang, tahun 2006 naik menjadi 409.890 orang. Tahun berikutnya lagi-lagi mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu 740.000 orang.
Jumlah sarjana yang menganggur pada 2009, tercatat sebanyak 900.000 orang, dan tahun 2011 lalu diperkirakan sudah mencapai angka 1,2  juta orang.
Harian Jawa Pos di Surabaya, pada terbitan edisi 22 Januari 2010, memberitakan bahwa dari 500 lowongan kerja yang ada, jumlah pelamarnya mencapai 110.000 orang. Dengan kata lain, satu lowongan kerja diperebutkan oleh 22 orang. Data tersebut juga berarti bahwa akan tercipta 109.500 pengangguran pada setiap 500 lowongan pekerjaan.
Bagaimana sesungguhnya proses belajar mengajar yang terjadi di perguruan tinggi? Mengapa banyak sarjana yang mereka hasilkan pada akhirnya menjadi pengangguran?
Komponen yang ada di perguruan tinggi terdiri atas anak didik sebagai raw-input. Anak didik atau mahasiswa itu dipengaruhi oleh kemampuan akademik, minat, motivasi, lingkungan (sosial, ekonomi), latar belakang pengetahuan, dan lain-lain.
Komponen berikut yaitu instrument input, yang meliputi pendidik, kurikulum, sarana dan prasarana, serta pemberian pelajaran. Pendidik meliputi dosen (kualifikasi S1, S2, atau S3), rasio dosen – mahasiswa, intensitas pemberian materi pembelajaran, cara pemberian materi pelajaran, dosen sebagai Transmitterof Knowledge, dosen sebagai Transmitterof Value, dan lain-lain.
Kurikulum di perguruan tinggi meliputi pelaksanaan kurikulum dan evaluasi kurikulum, sedangkan sarana dan prasarana meliputi gedung belajar, ruang belajar, perpustakaan, laboratorium, alat-alat pembelajaran, dan lain-lain.
Selanjutnya, pemberian pelajaran meliputi metode penyampaian, materi pembelajaran, pemilihan kegiatan, dan lain-lain.
Komponen ketiga di perguruan tinggi, yaitu environmental input atau lingkungan, yang meliputi masyarakat, pemerintah, dan lain-lain.

Jiwa Enterpreneurship

Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan dunia pendidikan untuk meminimalkan jumlah sarjana pengangguran? Caroline Jenner, berdasarkan The Next Generation Survey, mengatakan;We cannot give them jobs, but we can ensure that they have the core skills and competences to create them” (Kita tidak bisa memberi mereka pekerjaan, tetapi kita dapat memastikan bahwa mereka mempunyai kemampuan dan keterampilan inti untuk menciptakan lapangan pekerjaan).
Berdasarkan hasil survey dan hasil penelitian, penyebab terjadinya sarjana penganggur, antara lain karena mereka kurang memiliki kompetensi dengan dunia kerja. Selain itu, terjadi mistmach antara lepasan perguruan tinggi dengan dunia kerja. Banyak pengusaha mengeluh karena sulitnya mendapatkan tenaga kerja sesuai kebutuhan perusahaan (kelimpahan tenaga kerja berdampingan dengan kelangkaan tenaga kerja).
Penyebab lain, yaitu para pengusaha lebih senang menerima tenaga kerja yang siap pakai, terutama lulusan SMK atau lepasan diploma, ketimbang sarjana, karena mereka dapat langsung dipekerjakan dengan gaji yang lebih rendah.
Di sisi lain, para sarjana lepasan perguruan tinggi tersebut selalu termotivasi untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Sangat sedikit di antara mereka yang memiliki jiwa entrepreneur (kewirausahaan) yang berani mengambil risiko dengan menjadi wirausahawan (sektor swasta).
Data yang ada, Indonesia baru memiliki 0,8 persen enterpreneur dari jumlah penduduk, padahal idealnya minimal dua persen (2%). Bandingkan dengan Singapura yang enterpreneurnya mencapai 8% dari jumlah penduduknya, serta Filipina yang sudah mencapai angka 6%.
Terakhir, perlu diketahui bersama bahwa dunia kerja bukan hanya memperhatikan dan membutuhkan sarjana yang menguasai hard skiil (menguasai beragam teori yang diajarkan di bangku kuliah, serta penguasaan teknis dan keterampilan), melainkan juga sangat membutuhkan  soft skiil, misalnya rasa tanggung jawab, pandai berkomunikasi, percaya diri, mampu bekerja sama, dan periang.
Dengan kata lain, perguruan tinggi diharapkan tidak hanya memberikan teori dan keterampilan teknis kepada mahasiswa, tetapi juga diharapkan bisa menumbuhkan jiwa enterpreneurship dan memberikan penguasaan soft skill kepada mereka. 


Keterangan:


 - Opini ini termuat di Halaman 3, Tabloid Almamater, edisi I, Vol.I, Januari 2012.



[Terima kasih atas kunjungan, saran, kritik, dan komentarnya di blog Tabloid Almamater - http://tabloid-almamater.blogspot.com/]

No comments: