Berdasarkan hasil survey dan hasil penelitian, penyebab terjadinya sarjana penganggur, antara lain karena mereka kurang memiliki kompetensi dengan dunia kerja. Selain itu, terjadi mistmach antara lepasan perguruan tinggi dengan dunia kerja. Banyak pengusaha mengeluh karena sulitnya mendapatkan tenaga kerja sesuai kebutuhan perusahaan (kelimpahan tenaga kerja berdampingan dengan kelangkaan tenaga kerja).
Menyoal
Out-put Perguruan Tinggi
Oleh: Prof Dr HM Idris
Arief MS
(Pakar Ekonomi Universitas Negeri Makassar)
Produksi sarjana setiap tahun berkisar 900.000 orang. Mereka
adalah produk dari sekitar 2.600 perguruan tinggi negeri dan swasta di
Indonesia. Penganggur terdidik ini dipandang sebagai pemborosan nasional,
karena untuk menjadi sarjana cukup mahal, tetapi mereka akhirnya menjadi
penganggur.
Sarjana yang banyak menganggur adalah sarjana sosial
non-kependidikan, sarjana agama, dan sebagian sarjana program studi MIPA. Yang
banyak terserap adalah alumni program studi teknik dan prodi eksakta.
Apa yang terjadi sesungguhnya? Mengapa banyak sarjana yang menjadi
pengangguran? Apakah mereka tidak kompeten di bidang ilmunya? Apakah jumlah
lowongan kerja yang tersedia terlalu sedikit dibandingkan jumlah sarjana yang
ada? Apakah para sarjana tersebut tidak mampu berkreasi dan menciptakan
lapangan kerja sendiri?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya kita
lihat dulu data dan fakta tentang sarjana penganggur dari tahun ke tahun.
Tahun 2005, jumlah sarjana yang menganggur tercatat seba-nyak
183.629 orang, tahun 2006 naik menjadi 409.890 orang. Tahun berikutnya
lagi-lagi mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu 740.000 orang.
Jumlah sarjana yang menganggur pada 2009, tercatat sebanyak
900.000 orang, dan tahun 2011 lalu diperkirakan sudah mencapai angka 1,2 juta orang.
Harian Jawa Pos di Surabaya, pada terbitan edisi 22 Januari 2010,
memberitakan bahwa dari 500 lowongan kerja yang ada, jumlah pelamarnya mencapai
110.000 orang. Dengan kata lain, satu lowongan kerja diperebutkan oleh 22
orang. Data tersebut juga berarti bahwa akan tercipta 109.500 pengangguran pada
setiap 500 lowongan pekerjaan.
Bagaimana sesungguhnya proses belajar mengajar yang terjadi di
perguruan tinggi? Mengapa banyak sarjana yang mereka hasilkan pada akhirnya
menjadi pengangguran?
Komponen yang ada di perguruan tinggi terdiri atas anak didik
sebagai raw-input. Anak didik atau mahasiswa itu dipengaruhi oleh
kemampuan akademik, minat, motivasi, lingkungan (sosial, ekonomi), latar
belakang pengetahuan, dan lain-lain.
Komponen berikut yaitu instrument
input, yang meliputi pendidik, kurikulum, sarana dan prasarana, serta
pemberian pelajaran. Pendidik meliputi dosen (kualifikasi S1, S2, atau S3),
rasio dosen – mahasiswa, intensitas pemberian materi pembelajaran, cara
pemberian materi pelajaran, dosen sebagai Transmitterof Knowledge, dosen
sebagai Transmitterof Value, dan lain-lain.
Kurikulum di perguruan tinggi meliputi pelaksanaan kurikulum dan
evaluasi kurikulum, sedangkan sarana dan prasarana meliputi gedung belajar,
ruang belajar, perpustakaan, laboratorium, alat-alat pembelajaran, dan
lain-lain.
Selanjutnya, pemberian pelajaran meliputi metode penyampaian,
materi pembelajaran, pemilihan kegiatan, dan lain-lain.
Komponen ketiga di perguruan tinggi, yaitu environmental input atau lingkungan, yang meliputi masyarakat,
pemerintah, dan lain-lain.
Jiwa
Enterpreneurship
Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan dunia pendidikan untuk
meminimalkan jumlah sarjana pengangguran? Caroline Jenner, berdasarkan The
Next Generation Survey, mengatakan; “We cannot give them jobs, but we
can ensure that they have the core skills and competences to create them”
(Kita tidak bisa memberi mereka pekerjaan, tetapi kita dapat memastikan bahwa
mereka mempunyai kemampuan dan keterampilan inti untuk menciptakan lapangan
pekerjaan).
Berdasarkan hasil survey dan hasil penelitian, penyebab terjadinya
sarjana penganggur, antara lain karena mereka kurang memiliki kompetensi dengan
dunia kerja. Selain itu, terjadi mistmach antara lepasan perguruan
tinggi dengan dunia kerja. Banyak pengusaha mengeluh karena sulitnya
mendapatkan tenaga kerja sesuai kebutuhan perusahaan (kelimpahan tenaga kerja
berdampingan dengan kelangkaan tenaga kerja).
Penyebab lain, yaitu para pengusaha lebih senang menerima tenaga
kerja yang siap pakai, terutama lulusan SMK atau lepasan diploma, ketimbang
sarjana, karena mereka dapat langsung dipekerjakan dengan gaji yang lebih
rendah.
Di sisi lain, para sarjana lepasan perguruan tinggi tersebut
selalu termotivasi untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Sangat sedikit di
antara mereka yang memiliki jiwa entrepreneur (kewirausahaan) yang berani
mengambil risiko dengan menjadi wirausahawan (sektor swasta).
Data yang ada, Indonesia baru memiliki 0,8 persen enterpreneur
dari jumlah penduduk, padahal idealnya minimal dua persen (2%). Bandingkan
dengan Singapura yang enterpreneurnya mencapai 8% dari jumlah penduduknya,
serta Filipina yang sudah mencapai angka 6%.
Terakhir, perlu diketahui bersama bahwa dunia kerja bukan hanya
memperhatikan dan membutuhkan sarjana yang menguasai hard skiil (menguasai
beragam teori yang diajarkan di bangku kuliah, serta penguasaan teknis dan
keterampilan), melainkan juga sangat membutuhkan soft skiil, misalnya rasa
tanggung jawab, pandai berkomunikasi, percaya diri, mampu bekerja sama, dan
periang.
Dengan kata lain, perguruan tinggi diharapkan tidak hanya
memberikan teori dan keterampilan teknis kepada mahasiswa, tetapi juga
diharapkan bisa menumbuhkan jiwa enterpreneurship dan memberikan penguasaan soft
skill kepada mereka.
Keterangan:
- Opini ini termuat di Halaman 3, Tabloid Almamater, edisi I, Vol.I, Januari 2012.
[Terima kasih atas kunjungan, saran, kritik, dan komentarnya di blog Tabloid Almamater - http://tabloid-almamater.blogspot.com/]
Keterangan:
- Opini ini termuat di Halaman 3, Tabloid Almamater, edisi I, Vol.I, Januari 2012.
[Terima kasih atas kunjungan, saran, kritik, dan komentarnya di blog Tabloid Almamater - http://tabloid-almamater.blogspot.com/]
No comments:
Post a Comment