Cerita yang melebihi panjang Kisah Mahabarata dan Ramayana itu bermuatan filosofis tentang kejadian manusia, alam, dan seluruh makhluk hidup, yang didecak-kagumi masyarakat internasional. Ironisnya, generasi pewaris La Galigo kini ternyata tidak mengetahui apa itu La Galigo. Produk peradaban bernilai tinggi itu malah kini menjadi bahan candaan dalam ketidaktahuan generasinya sendiri. -- Mustam Arif --
----------------
Malapetaka Budaya
Oleh: Mustam Arif
(Wartawan, Seniman, Budayawan)
Di satu kesempatan, saya berbaur dengan sejumlah murid SMP dalam sebuah mikrolet di Makassar. Sebagai penumpang satu-satunya yang bukan komunitas anak-anak 'skul' ini, saya hanya diam dan menyimak percakapaan mereka. Gaduh, tapi saya mencoba untuk tidak risih di tengah-tengah candaan tidak keruan para ABG ini.
''Kicauan'' tak ada ujung-pangkal dari anak-anak berseragam putih biru ini, akhirnya tiba pada percakapan mereka tentang pekerjaan rumah. Temanya tentang I La Galigo atau La Galigo. Mungkin guru mereka di sekolah menugaskan pekerjaan rumah tentang La Galigo, epos terpanjang di dunia dari Sulawesi Selatan.
''Tau jiko La Galigo?'' tanya seorang murid kepada temannya.
Kontan temannya juga menjawab dengan logat anak muda Makassar; ''Ndak kutauki. Siapa yang ditempati tanya, natau kakakmu atau bapakmu?''
Murid yang badannya tambun itu kemudian menjawab; ''Sudah kutanya kemarin orang di rumah, tapi tidak natauki. Natanyakka apa itu?''
Jawaban itu membuat saya makin serius menyimak. Mulai detik itu, ocehan mereka fokus ke La Galigo. Ada yang menyatakan La Galigo itu nama jalan. Ada di antaraanya mengatakan nama kantor di dalam Fort Rotterdam Makassar. Saya menduga yang dimaksud adalah Museum La Galigo di Benteng Ujungpandang.
Tapi yang membuat saya merasa geli, tersenyum dan nyaris tertawa, salah satu dari mereka mengatakan, ''Kalau saya lihat di koran, La Galigo itu Bupati Bone.''
Tawa saya hampir pecah mendengarnya, tetapi saya mencoba untuk tidak mengusik percakapan yang makin menarik disimak itu. Saya pastikan yang dimaksud anak remaja di samping saya itu adalah Andi Idris Galigo. Ketika pengalaman ini saya alami, Idris Galigo masih menjabat Bupati Bone dan kebetulan sedang ramai diberitakan surat kabar.
Murid yang lain juga tak mau kalah dalam ketidaktahuannya.
''Salah ko, La Galigo itu jalan,'' katanya bangga.
Yang lain menimpali ''La Galigo itu rumah makan. Pernahka makan di situ sama mamakku,'' timpal seorang murid perempuan.
Dalam diam dan terpaksa larut dalam suasaana ini, saya hanya tersenyum. Saya sempat berpikir, mereka ternyata tidak tahu tentang La Galigo.
Turun dari mikorolet, saya mencoba untuk menyimpulkan apa yang terjadi di atas angkutan kota itu. Rasa geli dan tersenyum-senyum sebelumnya, perlahan-lahan berubah menyongsong sebuah keprihatinan.
Apa yang dipercakapkan murid-murid tersebut, mungkin hanya sepele. Namun, dari realitas ini, bagi saya, sesungguhnya sebuah malapetaka budaya dan perabadan Bugis.
Betapa tidak, anak-anak remaja di mikrolet itu adalah generasi Sulawesi Selatan (generasi Bugis dalam pengertian luas) sebagai pewaris budaya dan peradaban I La Galigo. Moyang mereka, bahkan sampai kakek-nenek dan orangtua mereka pasti berbangga dengan La Galigo, epos terpanjang dari dunia yang sakral itu.
Cerita yang melebihi panjang Kisah Mahabarata dan Ramayana itu bermuatan filosofis tentang kejadian manusia, alam, dan seluruh makhluk hidup, yang didecak-kagumi masyarakat internasional.
Ironisnya, generasi pewaris La Galigo kini ternyata tidak mengetahui apa itu La Galigo. Produk peradaban bernilai tinggi itu malah kini menjadi bahan candaan dalam ketidaktahuan generasinya sendiri.
Ini tentu menjadi hal yang ironis di tengah-tengah banyak bangsa-bangsa maju berupaya menggali sejarah dan peradaban. Menjadi ironis di tengah-tengah masyarakat Sulawesi Selatan (masyarakat Bugis dan Makassar) yang selalu bangga dengan kejayaan masa lalu.
Saya sampai berpikir, kata (nama) La Galigo saja tidak diketahui, bisakah mereka memahami sureq yang begitu sulit dipahami secara harfiah itu.
Saya mengingat kembali, pernah suatu ketika membawa dua jilid kisah La Galigo yang diterjemahkan dari naskah aslinya di Perpustakaan Leiden, Belanda, oleh Tim Penerjemah dari Universitas Hasanuddin.
Saya memperlihatkan naskah terjemahan dari kitab Colliq PujiE yang dikumpulkan Mathes dan Arung Pancana Toa itu, dan teman saya yang orang Bugis tulen, tak mampu memahami bahasa yang dikandung makna syair-syair La Galigo.
Saya pun mengira-ngira, apa sesungguhnya yang ditugaskan oleh guru-guru dari para murid di atas pete-pete itu? Apakah mereka ditugasi mencari literatur tentang La Galigo dan menyalinnya kembali? Apakah mereka diminta membaca naskah La Galigo?
Jika dugaan yang terakhir ini benar, saya bisa pastikan, tak seorang pun murid di kelas itu bisa dengan mudah memahami makna kisah La Galigo.
Kalau kemudian mereka sampai mendapatkan buku La Galigo yang ditebitkan Universitas Hasanuddin atau Universitas Gadjah Mada, saya bisa pastikan anak-anak SMP itu ogah membacanya. Kisah dalam bentuk baris-baris syair dengan bahasa yang penuh simbolik ini, sangat asing bagi generasi Bugis-Makassar diera film kartun.
Saya kembali mengingat betapa mencengangkan kisah La Galigo dipentaskan keliling dunia dan terakhir ''berlabuh'' di Benteng Rotterdam, Makassar, pada bulan April 2011.
Pementasan ini dikemas sungguh profesional oleh sineas kelas dunia Robert Wilson dan adaptasi naskah oleh Rodha Grauer.
Menghadapi teks yang miskin kata dan membungkus makna pada simbolisasi, Robert dan Rodha harus mengerahkan segenap kemampuan menafsir kisah penuh tanda-tanda ini menjadi bahasa verbal, dengan harapan akan komunikatif dalam realitas panggung.
Saya tidak tahu, apakah upaya mereka maksimal atau tidak, tetapi di atas panggung, pementasan I La Galigo pun tidak bisa dengan gampang dipahami dalam alur yang harfiah.
Saya yakin, penonton yang belum atau sama sekali belum mengenal atau membaca sureq Galigo, pasti kurang, bahkan tidak akan mampu memahami alur cerita I La Galigo versi Wilson.
Untuk menyibak potensi kisah yang syarat makna, pementasan besar La Galigo diselimuti dengan akumulasi visual dan gerak yang mencoba menjembatani makna simbolik ke pemahaman harfiah.
Saya pun mencoba merenungi, dapatkah dan kapankah generasi La Galigo mampu memahami dan memaknai kisah besar peradaban warisan nenek moyang mereka?
Saya melihat jarak resistensif yang demikian jauh terbentang. Di satu sisi, La Galigo mendunia dan dikagumi masyarakat internasional. Banyak cendekia menimba kearifan pada La Galigo. Di di sisi lain, pada gererasinya sendiri, jangankan makna, nilai atau kearifan, nama La Galigo sendiri justru asing.
Karenanya, mungkin upaya kita ke depan, bukan lagi sekadar membanggakan kehebatan warisan masa lalu, tetapi bagaimana membumikan La Galigo. Seperti kisah yang mengawali sureq Galigo saat Patotoq penguasa langit harus berkorban melepas putranya Batara Guru, diturunkan ke alam bawah untuk mengisi kekosongan bumi.
Bisakah kisah La Galigo hadir menjadi alternatif di tengah-tengah kecanduan anak-anak kita kepada Upin-Ipin?
-------------------------
Mustam Arif
Phone : 08152523131
Facebook: facebook.com/mustam.arif
Twitter : @mustamarif
Skype : mustam.arif
Blog : http://www.mustamarif.wordpress.com
-------------------------
@copyright Tabloid Almamater, Makassar, Edisi ke-4, Maret 2013.
1 comment:
sayangnya, malapetaka budaya tidak mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat....
maka, jangan harap dianggarkan dalam APBN dan atau APBD, ha..ha..ha...
Post a Comment