Monday, November 17, 2008
Korupsi Berjamaah Menjalar di Tubuh DPRD
INDRIA SAMEGO. Kita semua merasakan adanya fenomena korupsi politik para anggota dewan, namun tidak terlalu mudah untuk membuktikannya. Dengan kata lain, gejala penyimpangan kekuasaan para wakil rakyat tersebut pada dasarnya merupakan fenomena gunung es, yang kelihatan hanya sedikit di permukaan, namun pada kenyataannya, jauh lebih parah dan itu.
----------
Korupsi Berjamaah Menjalar di Tubuh DPRD
Rakyat Indonesia memang sudah diberi kebebasan untuk menentukan suara mereka, dan kepada siapa pilihan akan diberikan. Tekanan politik, sebagaimana lazim digunakan dalam sistem pemilu masa lalu, relatif sudah dapat dihilangkan.
Sayang sekali, hasil pemilu belum sebanding dengan biaya ekonomi dan harapan politik yang ada. DPR (D) memang semakin kuat posisinya di mata eksekutif.
Prof Indria Samego (Profesor Riset Bidang Perbandingan Politik dan Pemikiran Pembangunan LIPI), mengatakan, dalam soal Budgeting, tidak satu rupiah pun anggaran yang ditetapkan Pemerintah bisa lolos dari pengawasan dewan.
”Karena fungsi pengawasan dewan tersebut, maka setiap pengangkatan pejabat publik, termasuk duta besar kita, harus melewati Uji Kelayakan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) di lembaga perwakilan rakyat tersebut,” katanya.
Hal tersebut diungkapkan pada acara Temu Pakar/Dialog Publik Peran Media dalam Peningkatan Partisipasi Masyarakat pada Pemilu dan Pilkada, di Hotel Horison Makassar, Rabu (21/10/2008).
Acara tersebut diselenggarakan oleh Badan Informasi Publik Depkominfo bekerja sama Badan Informasi, Komunikasi dan Pengolahan Data Elektronik Provinsi Sulsel. Selain Indria Samego, acara yang dipandu Johansyah Mansyur dari BIK-PDE Provinsi Sulsel iut juga menampilkan Dr Jayadi Nas (Ketua KPU Sulsel) dan Dr AM Iqbal Sultan MSi (pakar ilmu komunikasi dari Universitas Hasanuddin Makassar).
Dari sisi demokrasi, kata Indria Samego, memang begitulah seharusnya. Ini semua ditujukan untuk mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki oleh Pihak Eksekutif. Karena kata Lord Acton, “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”, maka perlu ada pengawasan rakyat terhadap penggunaan kekuasaan oleh pemerintah tersebut.
Namun dari pratik politik yang sesungguhnya, Hak Pengawasan Dewan telah disalahgunakan pula untuk menunjukkan wewenangnya.
”Hanya lewat transaksi tertentulah, hak dewan tersebut dapat dilunturkan. Dengan diperkarakannya sejumlah anggota dewan ke meja hijau belakangan ini, telah membuktikan adanya penyalahgunaan Hak Para Wakil Rakyat yang terhormat tersebut,” tandas Indria Samego.
Kita semua merasakan adanya fenomena korupsi politik para anggota dewan, namun tidak terlalu mudah untuk membuktikannya.
Dengan kata lain, gejala penyimpangan kekuasaan para wakil rakyat tersebut pada dasarnya merupakan fenomena gunung es, yang kelihatan hanya sedikit di permukaan, namun pada kenyataannya, jauh lebih parah dan itu.
”Korupsi berjamaah, telah menjalar di dalam tubuh lembaga perwakilan rakyat, mulai dan pusat sampai ke daerah. Semuanya dimungkinkan karena political leverage (kekuatan politik) yang dimiliki dewan pasca-Orde Baru tersebut,” ungkapnya.
Namun, ditilik lebih lanjut, apa yang dilakukan dewan, sebetulnya juga karena adanya peluang yang dibuat oleh Eksekutif juga.
DPR (D) mengetahui betul bahwa pihak Pemerintah masih menjalankan praktik “business as usual”. Semua hendak “diproyekkan”. Usulan anggaran, di satu pihak memang sebagai wujud dan tuntutan pembangunan, namun di pihak lain, juga sebagai kesempatan memperoleh keuntungan.
Fenomena “rent seeking bureaucracy” (birokrasi yang mencari keuntungan) belum dapat dihilangkan dari bumi Indonesia, hanya karena reformasi yang baru satu dasawarsa ini dilakukan. Sebagal akibatnya, terjadilah hubungan kolutif antara pihak Eksekutif dengan Legislatif.
Persoalannya, di mana posisi rakyat hendak diletakkan dalam sistem yang kolutif tersebut. Padahal, kata konstitusi kita, rakyatlah pemegang kedaulatan republik ini.
”Dalam praktik, ternyata, rakyat hanya dijadikan penonton dan pemberi suara dalam setiap pemilihan umum. Setelah hasil pemilu diperoleh, kekuasaan dan penyelenggaraan Negara kembali diserahkan kepada para elite, baik di legislatif maupun eksekutif,” tegas Indria.
Golput
Menurut Indria Samego, Golput (Golongan Putih) masa Orde Baru dulu, harus dipahami sebagal aksi protes masyarakat sehubungan dengan keharusan memilih sejumlah kecil partai yang ikut pemilu.
Golput mesti ditafsirkan sebagal sikap yang menuntut adanya demokratisasi. Namun, dalam fenomena mutakhir, Golput Baru lahir karena adanya apatisme politik masyarakat terhadap kegagalan pemilu dalam mentransformasi perubahan secara demokratis.
”Berapa pun jumlah partal yang ikut serta dalam pemilu, pemilih tidak peduli, dan tidak mau berduyun-duyun pergi ke bilik suara,” katanya.
Ada sejumlah daerah yang menyelenggarakan pilkada hanya mampu menjaring 60% suara pemilihnya. Dari jumlah suara yang sah, kemudian harus dibagi di antara para pesertanya, dan menurut aturan perundangan, pemenangnya adalah mereka yang memperoleh dukungan di atas 30% suara sah tersebut. Sudah dapat dipastikan bahwa legitimasi politik pemenang pilkada rendah sekali.
Namun karena aturan perundangan tidak membatasi ketentuan mengenai hubungan antara legitimasi dengan sarat dukungan suara, maka semuanya diabaikan begitu saja.
Demikian pula dalam Pemilu Legislatif dan Presiden mendatang, aturan mengenai tingkat keikutsertaan tersebut (turn out), tidak dibuat oleh para anggota dewan. Namun diduga, kecenderungannya tidak jauh berbeda dengan sikap rakyat dalam pilkada.
”Dengan kata lain, peran serta mereka dalam Pemilu 2009, diduga akan jauh lebih rendah dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya yang di atas 80%,” sebut Indria.
Yang menjadi pertanyaan, cukup legitimetkah hasil pemilu tersebut? Secara hukum, memang tidak ada masalah. Namun secara politik, tentu menjadi tugas kita semua untuk membenahinya.
”Kita berharap, para aktor politik mulai menyadari arti dukungan rakyat tersebut. Selain mengampanyekan agenda kerja yang lebih konkrit, pemasaran politiknya pun mesti menyentuh kepentingan rakyat, tidak elitis. Dalam hal ini pula, pendidikan pemilih lewat media massa menemukan arti pentingnya,” tutur Indria Samego. (asnawin)
- Tabloid Demos, Makassar, Minggu I-II November 2008
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, kritik, dan saran-sarannya di blog "Almamater Sulawesi"]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment