Monday, July 21, 2008
Dalam Kredit Konsumtif Terdapat Unsur Produktif
Sejak tahun 1999, mayoritas kredit di Bank Sulsel adalah kredit konsumptif. Penyebab utamanya adalah karena mayoritas nasabahnya adalah pegawai negeri sipil. Dari total kredit yang dikucurkan ex BPD Sulsel yang lebih Rp 3 trilyun, hanya Rp 328 milyar atau hanya lebih 10 persen yang tersalur pada usaha kecil dan menengah (UKM).
---------------
H Andi Djuarzah :
Dalam Kredit Konsumtif Terdapat Unsur Produktif
Direktur Utama PT Bank Sulsel, H Andi Djuarzah mengakui, bahwa bank yang dipimpinnya sejak tahun 1999 itu mayoritas kreditnya adalah kredit konsumptif. Penyebab utamanya adalah karena mayoritas nasabahnya adalah pegawai negeri sipil.
Lalu dari total kredit yang dikucurkan ex Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sulsel itu yang lebih Rp 3 trilyun, hanya Rp 328 milyar, atau hanya lebih 10 persen yang tersalur pada usaha kecil dan menengah (UKM).
Menurut Djuarzah, yang membedakan Bank Sulsel dengan bank-bank umum lainnya yang kemudian nampak dalam kinerjanya, ialah nasabah Bank Sulsel lebih 90 persen pegawai negeri sipil.
“Dan, karyawan atau PNS tersebut dengan mudah mengambil kredit/pinjaman dari Bank Sulsel, karena mereka mengagunkan gajinya, gaji mana setiap tahun naik,” jelasnya.
Namun ia menegaskan, bahwa di dalam kredit pegawai yang tergolong konsumtif tersebut, terdapat nilai-nilai produktif.
“Misalnya, pegawai yang bermohon/menerima kredit untuk kerja sampingan seperti berternak ayam/unggas, memelihara ikan di tambak/kolam, membuka warung/kios, usaha rumput laut, membeli sepeda motor untuk ojek, dan lain-lain. Bahkan, ada yang membuka warung telekomunikasi (wartel) dan warung internet (warnet).
Kredit jangka panjang PNS itu bisa sampai Rp 100 juta. Dana itu cair dengan mudah karena kredit PNS tersebut tidak perlu surat izin usaha, juga tidak perlu jaminan harta bergerak/tidak bergerak, sebab gaji yang menjadi jaminannya ,” papar Dirut Bank Sulsel.
Djuarzah menambahkan, ada pegawai yang bermohon kredit untuk membeli/membangun rumah.
”Dan, ternyata rumah itu untuk usaha kos-kosan bagi mahasiswa, dan atau karyawan yang berasal dari luar Makassar. Jadi, sebenarnya kredit PNS yang tergolong konsumptif tersebut, di dalamnya terkandung unsur-unsur produktif dan manusiawi. Ini semua sesungguhnya termasuk jenis usaha kecil dan menengah (UKM),” simpulnya.
Ia mengakui, bahwa Gubernur Sulsel, H. Syahrul YL sebagai pemegang saham terbesar pernah mengeritik Bank Sulsel karena dinilai gubernur kurang memperhatikan usaha kecil dan menengah (UKM).
“Padahal sebenarnya 90 persen nasabah kami yang PNS tersebut ‘kan tergolong UKM, namun kredit kepada mereka digolongkan kredit konsumtif. Dalam kredit konsumtif mana – sesuai yang telah diuraikan – justru mengandung niolai-nilai produktif, manusiawi,” katanya.
Pemantauan DEMOS : Dari lebih Rp 3 trilyun kredit yang disalurkan Bank Sulsel per 31 Desember 2007, hanya Rp 328 milyar yang jatuh kepada pengusaha UKM. Dan, dari lebih 100.000 nasabah Bank Sulsel, hanya 5.378 nasabah yang beratas nama UKM.
Kredit UKM yang disalurkan Bank Sulsel untuk 5.378 nasabah UKM tersebut berjumlah Rp 328 milyar lebih untuk delapan sektor : Pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, perdagangan, jasa-jasa lain dan sektor konstruksi. Masih ada lagi satu sektor yang disebut SMS = sertifikasi massal swadaya, dengan plafond kredit Rp 1,1 milyar.
Dengan total asset per 01 Januari 2008 sebesar Rp 4,1 trilyun, Bank Sulsel meraih laba (sebelum pajak) sebesar Rp 268,7 milyar atau laba bersih Rp 186,2 milyar.
Dirut mengakui, bahwa ratio laba terhadap aset tersebut sangat tinggi bila dibandingkan dengan bank-bank lain, termasuk bank-bank pemerintah, bank nasional swasta dan bank-bank daerah lainnya.
Meski memiliki persentase laba yang demikian tinggi, namun bank ini tidak mampu mengakumulasi modal untuk pertumbuhan. Sebab, tuntutan pemegang saham terlalu tinggi.
Deviden saham yang diberikan kepada pemegang saham, yaitu Pemda Sulsel dan pemda-pemda kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat adalah 60 persen dari bagian laba, suatu persentase pembagian deviden yang mungkin tertinggi di dunia! Sehingga, nampaknya pembagian laba dari Bank Sulsel menjadi salah satu andalan pemasukan pendapatan asli daerah (PAD) bagi Pemda Sulsel dan pemda-pemda kabupaten/kota se-Sulsel dan Sulbar.
Deviden yang diterima Pemda Sulsel untuk tahun 2007 berjumlah lebih Rp 54 milyar. Sementara 24 kabupaten/kota di Sulsel memperoleh total Rp 53,1 milyar. Sedang, pemda kabupaten se-Sulbar (5 kabupaten) memperoleh deviden Rp 4,5 milyar.
Pajak yang dibayar Bank Sulsel kepada negara untuk tahun 2007 berjumlah Rp 79 milyar. Maka dengan segala keterbatasannya, Bank Sulsel sesungguhnya tetap punya kontribusi kepada pemerntah, baik pusat maupun pemerintah daerah, dan tentu saja untuk masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya untuk para pegawai negeri sipil.
Walau Bank Sulsel harus membayar deviden dan pajak yang demikian besar dari tahun ke tahun, namun asset bank ini terus meningkat. Ketika Andi Djuarzah pertama kali tampil selaku direktur utma, tahun 1999, jumlah asetnya berkisar Rp 500 milyar. Namun dalam rapat umum pemegang saham April 2008 lalu, terungkap bahwa asset Bank Sulsel sudah mencapai Rp 4,1 trilyun lebih. Maju-ko terus Bank Sulsel, ewako ! fahmy_myala.yahoo.com
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, kritik, dan saran-sarannya di blog "Majalah Almamater"]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment