Seorang aktivis seharusnya berupaya agar IPK-nya mencapai
minimal 3,0, agar rekan-rekannya sesama mahasiswa, dosen, dan para petinggi
kampus memberikan respek positif. - Dr Iqbal Suhaeb - (Mantan aktivis, sekarang Kabag Perlengkapan Pemprov Sulsel)
-----------------
Dr Iqbal Samad Suhaeb:
Dr Iqbal Samad Suhaeb:
IPK Aktivis Minimal 3,0
Mahasiswa memang sebaiknya aktif
pada minimal satu lembaga kemahasiswaan, baik di internal kampus, maupun di
luar kampus, tetapi tugas utama sebagai mahasiswa harus tetap diprioritaskan
dan sedapat-mungkin berupaya agar prestasi akademiknya di atas rata-rata.
“Aktivis akan jauh lebih dihargai
kalau IPK-nya tinggi,” kata Dr HM Iqbal Samad Suhaeb SE MT, dalam
bincang-bincang dengan Tabloid Almamater,
seusai acara penerimaan penghargaan dan hadiah kepada para juara Lomba
Penulisan dan Lomba Foto dalam rangka HUT ke-342 Sulsel, di Baruga Sangiaseri
Rujab Gubernur Sulsel, Jumat, 13 Januari 2012.
Mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan (Himiespa), Fakultas Ekonomi, Unhas (pertengahan
80-an), mengatakan, seorang aktivis seharusnya berupaya agar IPK-nya mencapai
minimal 3,0, agar rekan-rekannya sesama mahasiswa, dosen, dan para petinggi
kampus memberikan respek positif.
“Dulu, kami memang mensyaratkan
pengurus inti lembaga kemahasiswaan minimal ber-IPK minimal 3,0,” ungkap Iqbal
yang hingga kini masih aktif di berbagai organisasi.
Kabag Perlengkapan Biro Umum dan
Perlengkapan Setda Provinsi Sulsel, mengatakan, ketika masih kuliah S1 di
Unhas, dirinya juga aktif di HMI Komisariat Fakultas Ekonomi dan beberapa kali
mewakili Unhas sebagai pembicara pada seminar antar-lembaga kemahasiswaan di
Universitas Indonesia (UI) Jakarta dan Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta.
Meskipun meniti karier sebagai
birokrat di lingkup Pemprov Sulsel, pria kelahiran Makassar, 2 September 1966,
tetap melanjutkan kuliah hingga mencapai gelar doktor.
Gelar Sarjana Ekonomi diraihnya dari
Fakultas Ekonomi Unhas, selanjutnya pra-S2 pada Fakultas ekonomi UI, dan meraih
gelar Magister Teknik (prodi Planologi) dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Kemudian gelar doktor (Ilmu Ekonomi) diraih dari Unhas.
“Ilmu itu terus berkembang. Kalau
birokrat seperti saya tidak mengikuti perkembangan ilmu, maka dia akan
tertinggal dan ditinggalkan oleh konstituen. Mengikuti perkembangan ilmu bias
melalui jalur formal di bangku kuliah, bias juga melalui jalur otodidak, tetapi
seorang pejabat birokrat harus terus-menerus belajar,” ujar Iqbal. (win)
- Artikel ini termuat di Tabloid Almamater, edisi I, vol.I, Januari 2012.
No comments:
Post a Comment