Masyarakat Indonesia yang terbiasa santun dalam berperilaku, melaksanakan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, mempunyai kearifan lokal yang kaya dengan pluralitas, serta bersikap toleran dan gotong-royong, mulai cenderung berubah menjadi hegemoni kelompok-kelompok yang saling mengalahkan dan berperilaku tidak jujur. -- Prof Mansyur Ramly --
Pembangunan Karakter Bangsa Belum Optimal
Oleh: Prof Dr H Mansyur Ramly
(Ketua BAN-PT/Guru Besar FE UMI Makassar)
Pembangunan karakter bangsa yang sudah diupayakan dengan berbagai bentuk, hingga saat ini belum terlaksana secara optimal.
Hal itu tecermin dari kesenjangan sosial-ekonomi-politik yang masih besar, kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai di seluruh pelosok negeri, masih terjadinya ketidakadilan hukum, pergaulan bebas dan pornografi yang terjadi di kalangan remaja, kekerasan dan kerusuhan, korupsi yang semakin merambah pada semua sektor kehidupan masyarakat.
Saat ini banyak dijumpai tindakan anarkis, konflik sosial, penuturan bahasa yang buruk dan tidak santun, serta ketidaktaatan berlalu-lintas.
Masyarakat Indonesia yang terbiasa santun dalam berperilaku, melaksanakan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, mempunyai kearifan lokal yang kaya dengan pluralitas, serta bersikap toleran dan gotong-royong, mulai cenderung berubah menjadi hegemoni kelompok-kelompok yang saling mengalahkan dan berperilaku tidak jujur.
Semua itu menegaskan bahwa terjadi pergeseran jati diri dan karakter bangsa yang bermuara pada disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa, serta keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila.
Juga bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, ancaman disintegrasi bangsa, dan melemahnya kemandirian bangsa.
Pembangunan karakter bangsa memiliki urgensi yang sangat luas dan bersifat multidimensional. Sangat luas karena terkait dengan pengembangan multiaspek potensi-potensi keunggulan bangsa, dan bersifat multidimensional karena mencakup dimensi-dimensi kebangsaan yang hingga saat ini sedang dalam proses pembentukan.
Dalam hal ini dapat juga disebutkan bahwa karakter merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan bernegara, hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa.
Karakter berperan sebagai kemudi dan kekuatan sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing. Karakter tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi bangsa yang bermartabat.
Selanjutnya, pembangunan karakter bangsa akan mengerucut pada tiga tataran besar, yaitu untuk menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa, untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta untuk membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan bangsa yang bermartabat.
Memperhatikan situasi dan kondisi yang memprihatinkan tersebut serta pentingnya karakter bangsa, pemerintah mengambil inisiatif untuk memprioritaskan pembangunan karakter bangsa, dan menjadikan pendidikan sebagai lokomotif utama yang dimulai sejak pendidikan usia dini.
Itulah sebabnya sejak tahun 2010 pemerintah menghidupkan kembali pendidikan karakter pada dunia pendidikan, mulai dari PAUD (pendidikan anak usia dini) hingga pendidikan tinggi, dalam bentuk dan metode yang berbeda dengan sebelumnya.
Terintegrasi
Secara prinsipil, pengembangan karakter tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan atau mata kuliah, tetapi terintegrasi ke dalam mata kuliah yang sudah ada, pengembangan diri dan budaya universitas (satuan pendidikan).
Oleh karena itu pendidik dan universitas (satuan pendidikan) perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter ke dalam kurikulum, silabus yang sudah ada.
Beberapa prinsip-prinisp yang perlu diperhatikan dalam penerapan pendidikan karakter, yaitu pertama, berkelanjutan.
Berkelanjutan disini mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter merupakan sebuah proses panjang dimulai dari peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya, mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga pendidikan tinggi.
Kedua, melalui semua mata kuliah, pengembangan diri, dan budaya universitas, mensyaratkan bahwa proses pengembangan karakter dilakukan melalui setiap mata kuliah, dan dalam setiap kegiatan kurikuler, ekstra kurikuler dan kokurikuler.
Ketiga, nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan melalui proses belajar (value is neither cought nor taught, it is learned) (Hermann, 1972), mengandung makna bahwa materi nilai-nilai karakter bukanlah bahan ajar biasa.
Tidak semata-mata dapat ditangkap sendiri atau diajarkan, tetapi lebih jauh diinternalisasi melalui proses belajar.
Artinya, nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, atau pun fakta seperti dalam mata kuliah atau pelajaran agama, bahasa Indonesia, sejarah, matematika, pendidikan jasmani dan kesehatan, seni, ketrampilan, dan sebagainya.
Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai karakter peserta didik. Oleh karena itu, pendidik tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai karakter. Juga, pendidik tidak harus mengembangkan proses belajar khusus untuk mengembangkan nilai.
Suatu hal yang selalu harus diingat bahwa satu aktivitas belajar dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik.
Konsekuensi dari prinsip ini maka nilai-nilai karakter tidak ditanyakan dalam ulangan ataupun ujian. Walaupun demikian, peserta didik perlu mengetahui pengertian dari suatu nilai yang sedang mereka tumbuhkan pada diri peserta didik. Peserta didik tidak boleh berada dalam posisi tidak tahu dan tidak paham makna nilai terebut.
Keempat, proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik bukan oleh pendidik.
Pendidik menerapkan prinsip tut wuri handayani dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif.
Diawali dengan perkenalan terhadap pengertian nilai yang dikembangkan, maka pendidik menuntun peserta didik agar secara aktif menumbuhkan nilai-nilai karakter pada diri peserta didik melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas, universitas, dan tugas-tugas di luar universitas.
Harus Diaktualisasikan
Pada akhir tulisan ini saya ingin mempertegas bahwa pembangunan karakter bangsa harus diaktualisasikan secara nyata dalam bentuk aksi nasional, serta melalui pendekatan sistematik dan integratif.
Adapun strategi pembangunan karakter dapat dilakukan melalui sosialisasi, pendidikan, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerja sama dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat serta pendekatan multidisiplin yang tidak menekankan pada indoktrinasi.
Tanpa mengurangi peran lingkup lainnya, dunia pendidikan seyogyanya mengambil peran dan menempatkan dirinya sebagai lokomotif dalam pembangunan karakter bangsa.
@copyright Tabloid Almamater, Makassar, Edisi ke-3, Oktober 2012.
No comments:
Post a Comment