WISUDA. Terhitung mulai kelulusan setelah Agustus 2012, diberlakukan ketentuan bahwa untuk lulus program sarjana, magister, doktoral, mahasiswa harus telah menghasilkan makalah ilmiah yang terbit pada jurnal ilmiah. (Foto: Asnawin)
Keharusan
Tanpa Sanksi di Perguruan Tinggi
* Tanggapan Atas
Terbitnya Surat Edaran Dirjen Dikti
* Nomor:
152/E/T/2012, perihal Publikasi Karya Ilmiah
Ada banyak keharusan atau kewajiban yang
ditetapkan oleh pemerintah bagi perguruan tinggi. Ada banyak keharusan atau
kewajiban yang ditetapkan pihak kampus bagi mahasiswanya. Sayangnya, tidak
semua keharusan atau kewajiban itu disertai ancaman sanksi.
Kewajiban mahasiswa antara lain harus
berpakaian rapi, tidak boleh memakai baju kaos oblong, tidak boleh memakai
sandal, berpenampilan rapi, sopan, kehadiran minimal 80 persen, dan sebagainya.
Dosen pun antara lain diwajibkan
memberikan kuliah sebanyak 16 kali pertemuan, memberikan tugas, memberikan
nilai, membuat satuan acara perkuliahan (SAP), melakukan penelitian, dan
sebagainya.
Kenyataannya, banyak kewajiban yang
tidak dilaksanakan dan banyak larangan yang dilanggar oleh mahasiswa dan dosen,
tetapi hampir tidak ada sanksi sama sekali.
Pelanggaran atas berbagai keharusan atau
kewajiban itu bukan hanya terjadi pada perguruan tinggi swasta, melainkan juga
terjadi di sejumlah perguruan tinggi negeri. Tak heran kalau kemudian kerap
terdengar kalimat bernada guyon bahwa “aturan itu dibuat untuk dilanggar.”
Bagaimana dengan Surat Edaran Dirjen
Dikti Nomor 152/E/T/2012, perihal Publikasi Karya Ilmiah, tertanggal 27 Januari
2012? Apakah perguruan tinggi akan “tunduk” dan melaksanakan tiga poin
ketentuan dalam surat edaran tersebut, atau sebaliknya diabaikan begitu saja?
Dalam surat edaran yang ditandatangani
Dirjen Dikti Djoko Santoso, disebutkan
bahwa jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih
rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh.
“Hal ini menjadi tantangan kita bersama untuk
meningkatkannya,” kata Djoko.
Sehubungan dengan itu, terhitung mulai
kelulusan setelah Agustus 2012, diberlakukan ketentuan bahwa untuk lulus
program sarjana, mahasiswa harus menghasilkan makalah ilmiah yang terbit pada
jurnal ilmiah.
Selanjutnya, untuk lulus program
magister, mahasiswa harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal
ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti, sedangkan bagi mahasiswa
program doktoral, harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit
pada jurnal internasional.
Belum apa-apa, Surat Edaran Dirjen Dikti
itu langsung menuai pro dan kontra. Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia
(Aptisi) bahkan langsung mengadakan pertemuan Rapat Pengurus Pusat Pleno, di
Padang, Sabtu, 11 Februari 2012.
Hasil pertemuan, Aptisi menolak
kewajiban memublikasikan karya ilmiah mahasiswa di jurnal ilmiah sebagai syarat
kelulusan, tetapi mendorong lulusan program magister dan doctor untuk menulis
karya ilmiah. (Kompas, Senin, 13 Februari 2012)
SURAT EDARAN Dirjen
Dikti Nomor 152/E/T/2012, perihal Publikasi Karya Ilmiah, tertanggal 27 Januari
2012.
Tidak Ada Sanksi
Belakangan, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad
Nuh, dalam acara pembukaan Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2012, di
Depok, Senin, 27 Februari 2012), menjelaskan bahwa kewajiban memublikasikan
karya ilmiah mahasiswa di jurnal ilmiah, hanyalah sebagai upaya untuk
membangunkan kesadaran perguruan tinggi, untuk peduli terhadap publikasi ilmiah
Indonesia yang stagnan dan tertinggal jauh dari negara-negara lain. Namun,
kewajiban publikasi ilmiah mahasiswa di jurnal ilmiah tidak ada sanksi.
"Surat edaran Dirjen Dikti tidak
punya kekuatan hukum yang mengikat. Tapi jika semua pada ribut karena berarti
peduli dengan masalah ini. Wajar kalau marah karena dibangunkan akibat
perguruan tinggi selama ini 'keenakan tidur', tidak mau bekerja lebih keras,
padahal potensi ada," katanya. (tim)
@copyright Tabloid Almamater, Makassar
Edisi II, Maret 2012 -- halaman 4.
No comments:
Post a Comment